Iklan Atas

Blogger Jateng

Haji Syiah | Cerpen Ben Sohib


Kampung Melayu Pulo tentulah bukan satu-satunya kampung di Jakarta yang dipenuhi haji dan pemabuk sekaligus. Tapi sangat mungkin hanya di sinilah dua pemuda mabuk dan seorang haji bisa duduk di balai-balai yang sama dalam sebuah majelis taklim. Sesungguhnya kata ini tak tepat menggambarkan kegiatan yang sebenarnya. Sebab, meski sesekali Sang Haji menyampaikan khotbah dan membahas hikmah, majelis itu lebih sering menjadi ajang bincang santai tentang banyak hal, tempat orang bertukar kata dan canda hingga larut malam. Tapi, sampai akhir kisah ini nanti, kegiatan itu akan tetap disebut demikian semata-mata demi memudahkan penceritaan.

Siapa saja yang sempat berjalan menyusuri kampung kami pada suatu siang yang cerah akan segera mafhum permukiman ini benar-benar dipenuhi haji. Begitu menyelesaikan langkahnya yang pertama, kemungkinan besar ia akan bertemu seorang haji yang sedang duduk di teras rumahnya, disusul dengan haji yang sedang berdiri membetulkan gulungan sarungnya pada langkah kedua, dan haji yang sedang berjalan sambil membuka peci putih dan menggaruk-garuk kepalanya pada langkah ketiga. Jika sedang beruntung, pada langkahnya yang keempat atau kelima, ia akan memergoki seorang haji sedang mencubit pinggul perempuan penjual gado-gado di dekat tikungan.

Menjelang senja, para haji itu akan terlihat berjalan––baik sendiri-sendiri maupun berombongan––menuju Musala Assalam untuk salat Magrib berjamaah. Seusai salat dan berdoa barang lima atau sepuluh menit, mereka akan pulang ke rumah masing-masing. Salah seorang dari mereka dipanggil dengan sebutan Haji Syiah. Setelah salat Isya dan makan malam, para haji itu akan menguap berkali-kali sebelum akhirnya jatuh tertidur dan mendengkur dalam balutan sarungnya. Kecuali Haji Syiah.

Haji Syiah akan duduk di balai-balai di teras rumahnya, menyambut tamu-tamu yang hampir setiap malam bertandang meramaikan majelis taklimnya, termasuk Faruk dan Ketel, sepasang sahabat yang selalu datang dalam keadaan mabuk. Haji Syiah tak pernah membeda-bedakan tamunya, yang mabuk dan yang sadar diperlakukan serupa: kopi hitam sama dituangkan, keripik singkong dan kacang kulit sama diangsurkan, rokok kretek sama disodorkan. Alhasil, majelis taklim yang dihadiri belasan anak muda itu selalu berlangsung hangat.

Demikianlah, berita bergabungnya Faruk dan Ketel dalam majelis taklim di rumah Haji Syiah dengan lekas tersiar ke banyak telinga di kampung ini, termasuk ke telinga Haji Jamil, seorang haji yang paling disegani. Tak membuang tempo, sehari setelah mendengar berita itu, Haji Jamil sudah menegur Haji Syiah. Bakda salat Magrib dan menuntaskan doa di Musala Assalam, di hadapan jamaah musala, ia angkat bicara.

“Kagak pantes, Ji, orang mabok ente kumpulin di rumah ente.”

“Ane bukan ngumpulin orang mabok, tapi ane kagak bakalan nolak siape aje yang bertamu ke rumah ane. Orang mabok juga ane terime. Mabok tuh urusan die sama Allah, yang penting kagak ganggu tetangge. Kalau maboknye brengsek, jangan kate di pekarangan rumah ane, di mane aje di pojok kampung ini bakalan ane hajar!” jawab Haji Syiah sambil mengacungkan tinjunya yang sebesar kepalan tangan anak kecil. Sama sekali tak menakutkan.

Meski sudah dibekap, mulut Haji Sakur tetap meletupkan suara tawa tertahan. Demikian pula mulut Haji Sahrudin, mulut Haji Rozak, dan mulut sekian haji lainnya. Haji Munip yang paling parah, belum sempat membekap mulut, suara tawanya sudah terlepas begitu saja. Siapa yang tak ingin tertawa melihat Haji Syiah sesumbar hendak menghajar pemuda mabuk?

Sudah masyhur cerita Haji Syiah pernah terjatuh gara-gara diterpa angin dari sebuah sepeda motor bebek yang melaju kencang. Saat itu ia sedang berdiri di pinggir jalan di depan rumahnya ketika sepeda motor bebek yang dikemudikan seorang remaja berandal melaju kencang. Angin yang ditimbulkan dari kencangnya laju sepeda motor itu membuat tubuh tipis Haji Syiah terputar 180 derajat, kehilangan keseimbangan, dan jatuh terduduk menghadap rumahnya. Haji Syiah cepat berdiri. Lalu, sambil tangan kirinya berkacak pinggang dan tangan kanannya mengacungkan tinju ke arah mana sepeda motor tadi melesat, Haji Syiah berteriak, “Bagus ente kagak nyerempet ane. Kalau sampe nyerempet, ane lipet ente jadi tiga!”

Mau melipat tubuh pengendara sepeda motor berandal jadi tiga? Diterpa anginnya saja jatuh terduduk, apalagi diserempet. Begitu kira-kira yang ada dalam pikiran ketua RT. Maka ia segera mengerahkan warga membuat polisi tidur dari campuran pasir dan semen, agar kejadian serupa tak terulang. Itulah cerita yang dapat menjelaskan mengapa ada polisi tidur melintang tepat di depan rumah Haji Syiah hingga sekarang. Entah siapa yang pertama kali mengarang riwayat itu. Tentu saja tak seorang pun memercayai peristiwa itu benar-benar pernah terjadi, bagaimana pun kurusnya Haji Syiah. Namun yang jelas, kisah itu tersebar dan telah menggaungkan gelak tawa ke seluruh kampung.

Maka tak mengherankan jika malam itu Haji Sakur, Haji Sahrudin, Haji Rozak, dan Haji Munip (dia yang paling parah) gagal menahan tawa melihat Haji Syiah mengacungkan tinju dan mengancam hendak menghajar orang. Mereka teringat kisah Haji Syiah jatuh terduduk.

*****

SELAMA lebih dari setahun Haji Syiah menerima Faruk dan Ketel di rumahnya, tak ada warga kampung ini yang imannya berkurang. Kehidupan berjalan seperti biasa, tidak ada yang kurang, tidak ada yang lebih. Dengan kata lain, selain Haji Jamil, tak ada warga yang menganggap perbuatan Haji Syiah itu tidak pantas. Justru, warga merasa senang. Sebab, sejak bergabung dalam majelis taklim Haji Syiah, Faruk dan Ketel tak pernah lagi membuat onar di kampung saat mereka mabuk.

Sebelumnya, di antara sekian banyak pemabuk di kampung ini, Faruk dan Ketel yang dikenal paling sering membuat perkara. Mereka tersohor sebagai peminum yang pantang pulang sebelum tumbang. Hampir setiap malam mereka membeli miras curah di Pisangan Lama, di belakang Stasiun Jatinegara. Konon, berdua mereka biasa menghabiskan sepuluh liter setiap malamnya. Pada satu liter pertama, mereka masih berbicara dengan “ane” dan “ente”, seperti biasa. Pada liter kedua, mereka berbincang-bincang dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, dengan menggunakan “saya”dan “anda”. Pada liter ketiga, mereka berdebat hebat dalam bahasa Inggris, meski hanya setan dan mereka berdua sendiri yang paham artinya. Pada liter keempat dan seterusnya, mereka mulai berteriak-teriak keliling kampung.

Saat berteriak-teriak di tengah malam buta itulah, Haji Syiah yang sedang duduk sendirian di teras rumahnya, keluar menyongsong mereka. Ia menggulung sarungnya tinggi-tinggi, kemejanya yang tak dikancingkan memperlihatkan tonjolan tulang iga. Ia tak sempat memakai peci putihnya, membuat kepalanya yang hanya ditumbuhi sejumput uban itu berkilap-kilap ditimpa cahaya bulan.

“Ente berani besuare sekali lagi, ane putusin tenggorokan ente!”seru Haji Syiah.

Ia memasang kuda-kuda siap menyerang, kedua lutut kakinya agak ditekuk, tangan kanannya menadah seperti orang meminta sesuatu, tangan kirinya seperti hendak menopang kepala bagian belakang. Tak ada orang yang pernah mendengar Haji Syiah pandai bermain silat. Tapi, bahwa konon ia menguasai ilmu pedang ghoib, amalan yang sanggup merobohkan lawan dari jarak jauh, sempat sekian lama setengah dipercaya penduduk kampung kami––meski tak jelas siapa yang pertama kali merawikan kabar ini. Namun, kepercayaan yang hanya setengah itu pun rontok sama sekali saat kisah olok-olok tentang Haji Syiah jatuh terduduk akibat diterpa angin dari sebuah sepeda motor bebek yang melaju kencang, tersiar ke seantero kampung.

Meski begitu, melihat Haji Syiah dalam posisi siap menyerang disertai ancaman hendak memutus tenggorokan mereka, Faruk dan Ketel segera bereaksi. Mereka mengambil posisi siap tarung. Tapi, entah karena pengaruh alkohol atau karena belajar pada guru silat yang salah, kuda-kuda mereka terlihat aneh: kedua belah kaki dipentangkan lebar-lebar, kedua tangan diacungkan lurus ke depan.

Urusan kuda-kuda boleh menggelikan, tapi keadaan saat itu tetap saja menegangkan. Dalam keadaan mabuk berat, bukankah sangat mungkin seseorang akan melakukan hal-hal yang tak terduga? Benar saja! Faruk terlihat mulai meraba belakang pinggangnya, seperti mencari-cari sesuatu. Sebilah pisau? Sementara sahabatnya, Ketel, tetap dalam posisi semula. Tampaknya ia sedang berusaha keras menjaga keseimbangan tubuhnya. Haji Syiah kian waspada.

Tak mau ambil risiko, Haji Syiah mulai mengeluarkan ilmu pedang ghoib, mulutnya komat-kamit melafalkan doa. Diyakini, setelah doa itu dibaca tiga kali, lawan akan ambruk dan bertekuk lutut hanya dengan meniup mukanya. Maka, tak membuang waktu, setelah selesai membacanya tiga kali, Haji Syiah langsung meniup ke arah wajah kedua begundal itu dengan keras. Saat itulah gigi palsu Haji Syiah terlepas dari mulutnya. Gigi itu melayang dan jatuh di dekat kaki lawan-lawannya. Hening sejenak, malam seperti ikut menahan napas.

Faruk dan Ketel saling berpandangan. Tiba-tiba kedua pria mabuk itu tertawa hingga terbungkuk-bungkuk. Mereka terpingkal-pingkal sambil memegangi perut mereka. Faruk dan Ketel terus tertawa, makin lama makin tergelak, dan perut mereka menjadi kaku. Akhirnya, masih sambil terpingkal, mereka terjatuh dengan lutut tertekuk di hadapan Haji Syiah.

Faruk dan Ketel menciumi tangan Haji Syiah. Dengan susah payah mereka berusaha meminta ampun, baru setengah kata berhasil diucapkan, yang setengahnya lagi tertelan oleh tawa mereka, air mata mereka berlinangan. Untunglah, setelah Haji Syiah mengusap kepala mereka, tawa kedua pemabuk itu reda. Dan mereka terhindar dari kram perut yang dapat membahayakan jiwa.

Sejak kejadian itu, Faruk dan Ketel insyaf, tak pernah lagi membuat onar di kampung, meski masih tetap menghabiskan sepuluh liter miras curah setiap malamnya. Dan mereka menjadi anggota majelis taklim Haji Syiah yang paling setia. Bahkan, kedua pemabuk itu menjadi murid––jika bisa disebut demikian––kesayangan Haji Syiah.

Pasangan biang kerok Faruk dan Ketel yang berhenti membuat onar dan menjadi murid kesayangan Haji Syiah adalah fakta. Tapi, cerita tentang urut-urutan kejadian yang menjadi musabab berubahnya kedua pengacau itu––terutama pada bagian kuda-kuda yang ganjil dan gigi palsu yang terlepas––tak bisa dibuktikan kebenarannya mengingat kisah itu dirangkai berdasarkan penuturan Ucup Bodong, penjual kue pancong yang pada malam terjadinya peristiwa itu baru saja menutup warungnya. Ia mengaku mengintip seluruh kejadian itu dari balik warungnya. Faruk dan Ketel sendiri memilih bungkam setiap kali ditanya soal itu. Sementara kepada Haji Syiah, tentu tak ada orang yang sampai hati meminta kejelasan.

*****

HAJI Syiah berusia enam puluhan tahun. Nama aslinya Rohili. Ia dipanggil Haji Syiah bukan karena menganut mazhab ini. Tata cara ibadahnya tak pernah terlihat berbeda dari warga kampung lainnya. Kemungkinan terbesar, itu gara-gara ia memasang poster bergambar Ayatullah Khomeini di dinding ruang tamunya, bersebelahan dengan foto Habib Ali Kwitang. Konon, ketika ia baru pulang haji sekitar dua puluh tahun yang lalu, Haji Jamil berkunjung ke rumahnya. Pada kesempatan itulah Haji Jamil menasihati dan menganjurkan Haji Syiah menurunkan poster Sang Ayatullah.

“Ngapain ente pasang tu gambar? Die kan Syiah, beda ame kite,” itu yang dikatakan Haji Jamil sambil menunjuk poster Ayatullah Khomeini.

“Kagak ape-ape beda, ane demen aje ngeliat romannye,” Haji Syiah menjawab dengan tenang.

Maka sangat mungkin dari mulut Haji Jamillah panggilan Haji Syiah pertama kali berembus. Kemudian julukan itu menyebar ke seluruh penduduk kampung, dari mulut warga yang satu ke telinga warga yang lain. Meski tak ada orang yang berani memanggil “Haji Syiah” di hadapannya, tapi Sang Haji bukannya tak tahu di belakang dirinya orang-orang memanggil dengan cara demikian. Dan ia tak merasa keberatan.

Haji Syiah hanya hidup berdua dengan Nyak Mun, istrinya. Berdua, sudah lebih dari empat puluh tahun mereka dengan sabar dan ikhlas mengarungi lautan sepi kehidupan. Pada lima hingga sepuluh tahun pertama perkawinannya, mereka––terutama Haji Syiah––masih berharap hadirnya seorang anak (ia memimpikan anak lelaki) yang akan meramaikan suasana rumah. Namun, pada tahun-tahun selanjutnya, perlahan mereka mengubur mimpi itu, makin lama makin dalam. Entah pada tahun perkawinan yang ke berapa, akhirnya mereka menerima kenyataan sebagai pasangan suami-istri yang tak dikarunia anak.

“Tuhan kagak kasi,” selalu begitu jawaban Haji Syiah setiap kali ada yang bertanya berapa jumlah anaknya. Haji Syiah memang telah dengan ikhlas menerima takdirnya, tapi jauh di hati kecilnya, benih keinginan mempunyai keturunan tampaknya tak benar-benar mati terkubur. Benih itu tumbuh dan muncul dalam bentuk kecintaan kepada anak muda. Di tengah-tengah obrolan di majelis taklimnya, beberapa kali Haji Syiah pernah berkata, “Kalau dulu Tuhan kasi, udeh seumuran ente kali anak ane.”

Haji Syiah seperti melihat bayang-bayang anak lelaki impiannya pada anak-anak muda itu, yang mabuk sekalipun. Bahkan kepada yang mabuklah Haji Syiah makin merasa sayang. Ia memandang Faruk dan Ketel dengan mata kasih orangtua terhadap anaknya. Dengan cara sehalus mungkin, ia berusaha menarik kedua anak muda itu dari kubangan khomer, minuman keras yang menurutnya bisa merusak kesehatan dan masa depan mereka.

“Ente kalau minum yang kire-kire, jangan kelewatan. Kalau minum kagak pake takeran, ape enaknye? Lagian, mau sampe kapan ente begini? Tuhan sih kagak rugi ape-ape ente mau mabok saban hari, yang rugi ente sendiri, badan ente ancur, pikiran kusut. Ente musti pikirin masa depan ente,” nasihat Haji Syiah suatu kali.

Berbilang bulan setelah nasihat itu disampaikan, Faruk dan Ketel tetap datang ke rumah Haji Syiah dalam keadaan sempoyongan. Namun, benar belaka apa yang sering dikatakan orang, hidayah dari Tuhan bisa datang dengan cepat dan dari arah tak terduga. Siapa sangka, secepat itu Faruk dan Ketel berubah menjadi orang yang sama sekali berbeda. Hanya sekitar tujuh bulan setelah berpamitan kepada Haji Syiah hendak bekerja mengelola warnet milik Ustad Jaiz di Pandeglang, Faruk dan Ketel muncul kembali di kampung ini dengan penampilan berbeda. Mereka mengenakan kemeja lengan panjang, celana panjang sebatas mata kaki, dan ada tanda hitam di jidatnya, tanda sering bersujud. Kumis mereka dicukur habis, sementara janggutnya dibiarkan tak tercukur.

Menurut kabar yang beredar di antara warga, selama di Pandeglang mereka giat mengikuti pengajian di pondok pesantren Ustad Jaiz, tak jauh dari warnet yang mereka kelola. Ustad Jaiz, yang masih terhitung sepupu dengan Faruk itu, membangun pondok pesantren dan beberapa unit usaha seperti warnet dan agen beras di Pandeglang sekitar setahun yang lalu, saat ia baru saja pulang setelah menyelesaikan kuliah ilmu syariah di Mekah. Kabarnya, beberapa hari lagi Faruk dan Ketel akan kembali ke Pandeglang untuk mengikuti program pesantren intensif selama enam bulan, sebelum keberangkatan mereka ke Mekah. Di kota suci itu––dengan beasiswa yang diperoleh lantaran hubungan baik Ustad Jaiz dengan sebuah lembaga dakwah di Arab Saudi––mereka akan memperdalam ilmu agama.

Tentu saja Haji Syiah gembira mendengar berita itu. Ia ingin sekali bertemu Faruk dan Ketel. Sudah lebih dari seminggu ia mendengar kedua anak muda itu pulang dari Pandeglang, tapi mereka belum juga datang berkunjung ke rumahnya. Haji Syiah akhirnya memang bertemu Faruk dan Ketel pada suatu sore, tepat sepuluh hari setelah kedatangan mereka. Secara tak sengaja, Haji Syiah berpapasan dengan mereka di depan toko kelontong Yong Put. Awalnya ia sempat tak mengenali, hanya setelah mata mereka bersitatap selama dua atau tiga detik, dengan gembira Haji Syiah berteriak,“Faruk! Ketel!”

Para pemilik nama itu tak menyahut. Mereka memalingkan muka dan meneruskan perjalanannya, segera setelah salah seorang dari mereka, yaitu si Faruk, sempat menyemburkan ludah ke tanah. Haji Syiah terdiam seribu bahasa. Ia menghentikan langkahnya selama beberapa masa, menatap punggung mereka hingga menghilang dari pandangan. Seribu pertanyaan berpusar di benaknya, ia tak mengerti ada apa dengan ini semua.

Seribu tanya itu masih terus berpusar hingga malam tiba, saat ia duduk sendirian di balai-balai di teras rumahnya. Mengapa Faruk dan Ketel berbuat demikian terhadap dirinya? Apakah karena sekarang mereka merasa terlahir kembali sebagai orang suci dan karenanya merasa jijik dengan masa lalunya yang penuh najis? Atau ada sebab lain? Haji Syiah tak menemukan jawaban apa-apa.

Tiba-tiba Haji Syiah merasa begitu lelah. Ia sandarkan kepalanya ke dinding, kedua matanya ia pejamkan. Saat membuka matanya kembali selang beberapa menit kemudian, samar-samar Haji Syiah seperti melihat Faruk dan Ketel membuka pagar halaman, berjalan sempoyongan melintasi pekarangan rumahnya. Haji Syiah mengusap mata. Malam begitu sepi. Angin berembus cukup kencang, merundukkan sebatang pohon belimbing yang tumbuh di situ. (*)

Jakarta, Maret 2012

Posting Komentar untuk "Haji Syiah | Cerpen Ben Sohib"