Iklan Atas

Blogger Jateng

Surau | Cerpen Artie Ahmad

Matanya yang tua seakan meneropong, mengamati surau di hadapannya dengan tatapan saksama. Surau yang terlihat tua, kuno, tetapi belum kehilangan gairahnya dalam menampung doa-doa. Semakin tua, surau yang sudah berdiri selama puluhan tahun itu masih terlihat kokoh, belum ringkih sama sekali. Meski beberapa bagian lantai papannya ada yang menganga. Tikar pandan untuk alas surau tampak masih mengilap. Tangga dan penyangga dari kayu jati terlihat semakin berwibawa seiring bertambahnya usia surau. Surau yang masih bersetia tegak di depan rumahnya, meski zaman selalu berubah. Meski surau itu kini tak seramai dulu lagi.


Namun, gelombang perasaan yang mengganggu itu selalu datang menyapa hati Wak Haji akhir-akhir ini. Tiga kemenakannya mengusulkan agar surau itu dipugar, diganti dengan mushala baru yang lebih modern. Kuncup surau dari papan yang berukir, seharusnyalah sudah digantikan dengan kubah berwarna biru cerah. Lantai papan yang ongak di beberapa bagian, sudah semestinya berganti dengan lantai keramik berwarna putih bersih. Lalu surau dengan model rumah panggung seperti itu, sudah ketinggalan zaman.

Maka, atas pemikiran mereka yang memiliki uang berlebih itu, surau akan diruntuhkan, digantikan mushala baru.

“Nanti para pekerja biar aku yang urus. Mereka para tukang yang aku pekerjakan selalu giat. Pekerjaan merenovasi surau itu tentu akan cepat selesai.” Ujar Makmun, kemenakan tertua Wak Haji. Dia bekerja di kontruksi bangunan, sebagai mandor.

“Nah, benar itu. Untuk material bangunan, biar aku dan Kang Muis yang urus,” timpal Misbah, kemenakan termuda Wak Haji.

Wak Haji terdiam sebentar, sebelum dia berujar.

“Sebaiknya, tak perlulah surau itu dipugar. Bangunannya masih bagus, belum ada yang perlu benar-benar diperbaiki.”

“Wak, seharusnya Wak tahu, surau itu bukan lagi sekadar milik Wak seorang.

Melainkan sudah menjadi milik banyak orang. Sebentar lagi puasa Ramadhan tiba, Wak. Tentulah surau itu harus bersolek, agar yang tadarus dan shalat nanti semakin bersemangat!” Muis menatap uwaknya sungguh-sungguh.

“Tapi, yang datang ke surau kita ini tak seramai dulu. Masjid besar di ujung kampung itu sudah cukup luas menampung mereka.”

“Wak, masalahnya surau kita sepi ya, menurutku karena keadaannya yang seperti sekarang. Bunyi kerat-kerat lantai kayu ini sungguh mengganggu kekhusyukan mereka yang sembahyang di sini,” sambung Muis santai.

“Kekhusyukan dalam bersembahyang bukan didasari di mana kita bersembahyang, Muis. Apalah artinya nanti jika surau tua ini digantikan mushala baru yang jauh lebih kokoh, tetapi tetap senyap dari doa-doa untuk Gusti Allah,” jawab Wak Haji sendu.

Namun, di akhir diskusi dengan ketiga kemenakannya, Wak Haji terpaksa menerima keputusan bahwa surau yang dia dirikan berpuluh tahun lalu itu akan dipugar. Surau dari papan akan digantikan tembok semen yang kokoh. Meski setelahnya, Wak Haji merasakan ada kekosongan di hatinya.

*****

Wak Haji lari terbirit-birit ketika mendengar suara mesin gergaji meraung-raung. Muis yang berbadan tegap sedang bersiap menggergaji pohon duku di samping surau.

“Mau kau apakan pohon duku itu, Muis?” Wak Haji berdiri bingung.

“Mau ditebang, Wak!” teriak Muis di tengah gemuruhnya suara bising gergaji mesin.

“Apa? Tebang? Tak salah kau, Muis? Mengapa lagi pohon duku itu kau tebang?”

“Untuk tempat parkir, Wak. Nanti kalau surau, ah, mushala baru sudah jadi, tentulah banyak yang datang bersembahyang di sini. Tentu kalau sudah seperti itu, kita perlu tempat parkir bukan?” Muis mematikan gergaji mesin yang sedang dia bopong.

“Keterlaluan kau, Muis. Aku memperbolehkan kau dan adik-adikmu merombak surau ini, tapi tak perlu juga kau robohkan pohon duku ini,” sahut Wak Haji dingin.

Muis menghela napas panjang. Ditatapnya wajah uwaknya sungguh-sungguh. Sejak kecil, waknya yang membesarkan dia dan kedua saudaranya. Wak Haji tak memiliki seorang anak pun. Kesepiannya ditutup dengan merawat tiga kemenakannya. Bagi Muis dan adik-adiknya, saat inilah dia membalas kebaikan sang wak. Merombak surau, menjadi mushala baru agar lebih hidup.

“Jadi untuk pohon duku ini uwak keberatan?” tanya Muis sekali lagi.

“Tentu saja. Kita tak perlu lahan parkir yang terlalu luas. Biarkan pohon duku ini tetap seperti semula,” ujar Wak Haji sembari kembali masuk ke dalam.

Kemarahannya tiba-tiba berkobar. Siapa yang menyangka jika dirombaknya surau akan merembet ke mana-mana. Wak Haji memejamkan mata. Disebutnya asma Allah berulang kali. Suara gergaji mesin yang bising tak terdengar lagi, tapi lamat-lamat dia masih mendengar suara Muis yang berbincang-bincang dengan seseorang di luar.

Surau yang dia dirikan benar-benar dipugar. Satu per satu papan dilepas, ditumpuk begitu saja di bawah pohon duku yang tak jadi ditebang. Tikar pandan digulung, Makmun menaruh gulungan tikar pandan itu di ruang tengah. Di tempat biasa Wak Haji menonton televisi. Tikar pandan itu tak diperlukan, mushala yang baru nanti akan menggunakan karpet baru yang jauh lebih lembut.

Wak Haji menatap gulungan tikar pandan itu dengan nanar. Tikar pandan itu yang menganyam almarhumah istrinya, Siti Nafsiah. Istri yang sangat disayanginya, yang meninggalkan dirinya lima tahun yang lalu. Bulir air mata Wak Haji mengalir perlahan. Bibirnya berbisik perlahan.

“Siti Nafsiah, istriku. Tikar hasil keterampilan tanganmu ini nantinya akan digantikan karpet baru.”

*****

Surau yang lama telah berganti menjadi mushala baru yang lebih modern. Kubah yang tak terlalu besar, tetapi berwarna biru cerah menambah kesan semarak. Empat pelantang suara dipasang menghadap ke empat penjuru.

“Nanti suara uwak akan menggema ke seluruh desa. Tak kalah dengan dengan suara dari masjid besar di ujung desa itu, Wak,” ujar Misbah bergurau saat waknya menanyakan apa gunanya memasang pelantang suara sampai empat buah.

Semuanya dirasakan Wak Haji dengan keterasingan yang tak bisa diungkapkan.

Dinginnya dinding dan lantai mushala tak pernah dia kenal sebelumnya. Suaranya yang menggema dari pelantang suara mushala baru terdengar asing di telinganya sendiri. Suara azan yang dia kumandangkan senantiasa berbaur dengan suara azan dari masjid besar di pinggir desa.

Awal mula mushala itu jadi, jamaah yang bersembahyang di sana cukup semarak.

Namun, tak lama kemudian, mushala Wak Haji sepi lagi. Tapi, bukan sepinya mushala baru yang membuat hati Wak Haji sedih. Dalam diamnya dia selalu merindukan suraunya yang lama. Surau dari papan, yang beralas tikar pandan.

Dulu dia membangun surau itu sedikit demi sedikit. Kayu-kayu yang kemudian menjadi bagian utuh surau dikumpulkannya sendiri. Wak Haji sendiri yang merancang surau panggung. Ukiran di atas atap, dia sendiri yang membuatnya. Kini surau yang dulu selalu ramai dengan anak-anak yang belajar mengaji, berganti menjadi mushala baru yang senyap.

Subuh belum benar-benar datang ketika Wak Haji membuka pintu mushala perlahan. Keadaan senyap, tak ada seorang pun di dalamnya. Meraba dalam gelap, Wak Haji mencari panel saklar lampu neon. Seperti yang dia perkirakan sebelumnya, tak akan ada banyak yang berubah. Meski sudah dipugar menjadi mushola yang baru, tetap saja hanya dia seorang yang setia mengulum doa-doa di sana.

Gusti Allah tak terlalu mempersoalkan di mana para hamba-Nya bersembahyang.

Yang terpenting dari semuanya adalah kekhusyukan yang ikhlas. Surau yang lama sesungguhnya tak menjadi soal, tapi bagaimana Wak Haji menolak mushala yang baru ini jika dipugarnya surau adalah bukti kasih dari kemenakan-kemenakan yang telah dibesarkannya. Tapi, seringnya memang begitu, balasan kebaikan terkadang luput dari apa yang diinginkan.

Wak Haji hanya duduk tepekur. Dia enggan mengambil mikrofon yang akan menyalurkan suaranya ke pelantang suara. Suara muazin masjid besar di pinggir desa sudah terdengar. Tapi, Wak Haji tak juga meraih mikrofon mushala baru miliknya. Dia beranjak, ke tempat wudhu. Setelahnya dia bersembahyang.

Lepas mengucapkan salam terakhir, Wak Haji merasakan ada yang menghentak dadanya. Napasnya tersengal. Dia jatuh di atas karpet sajadah baru yang terbentang di atas lantai mushala. Kedua matanya yang mulai kabur menangkap satu sosok yang berdiri di pintu mushala.

“Siti Nafsiah…,” erang Wak Haji perlahan.

Namun, bayangan almarhumah istrinya semakin lama semakin kabur lalu menghilang. Dari bibirnya yang bergetar menahan sakit, Wak Haji hanya mampu berucap perlahan, Allah, Allah, Allah…

Sebelum akhirnya matanya tertutup, bibirnya berhenti bergetar.

Artie Ahmad lahir dan besar di Salatiga, Jawa Tengah. Saat ini bekerja sebagai seorang karyawati swasta.